Oleh : SUSANA RITA KUMALASANTI
27 Desember 2023 20:20 WIB
Situasi ruang sidang utama Prof H Oemar Seno Adji, SH di Pengadilan Jakarta Selatan terlihat sepi pada Jumat (14/10/2022).
Oleh : STEPHANUS ARANDITIO
JAKARTA, KOMPAS — Potret penegakan hukum pidana dan jaminan akses keadilan di Indonesia sepanjang tahun 2023 dinilai masih stagnan dan cenderung menurun. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam bidang ini, mulai dari perbaikan sistem peradilan pidana, peningkatan kualitas aparat penegak hukumnya, dan lainnya.
Ketua Umum Asosisasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Asperhupiki), Fachrizal Afandi, menggunakan setidaknya dua parameter, yaitu indeks negara hukum dalam aspek peradilan pidana/criminal justice (yang dikeluarkan World Justice Project) tahun 2023 dan indeks persepsi korupsi/Corruption Perception Index—yang masih jeblok.
Dalam indeks negara hukum RI 2023, skor untuk peradilan pidana stagnan di angka 0,53 atau sama dengan tahun sebelumnya. Ada penurunan skor pada sisi peradilan pidana yang tidak memihak, yaitu dari angka 0,28 menjadi 0,26 (rentang skor 0-1). Skor yang jeblok juga tampak pada sistem penyidikan yang efektif (0,35), sistem pemasyarakatan efektif dalam mengurangi perilaku kriminal (0,33), pemenuhan proses hukum dan hak-hak terdakwa (0,4).
Sementara indeks persepsi korupsi RI diketahui menurun dari skor 38 menjadi 34 (pada skala 0-100). Skor itu diperoleh saat belum terkuaknya kasus dugaan pemerasan oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Firli Bahuri seusai pemeriksaan dan klarifikasi ke Dewan Pengawas KPK di Gedung Anti-Corruption Learning Center (ACLC) KPK, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Sumber : KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
”Ini skor terburuk sejak 2015. Ini skor sebelum ketua KPK diduga melakukan pemerasan. Pasti akan memburuk lagi kalau orang tahu Ketua KPK-nya melakukan perbuatan tercela, melakukan pemerasan. Belum lagi di kalangan aparat penegak hukum yang lain,” kata Fachrizal yang juga pengajar hukum pidana Universitas Brawijaya tersebut, Rabu (27/12/2023).
Problem penegakan hukum lain yang bisa dilihat dalam satu tahun terakhir, menurut Fachrizal, juga tampak pada adanya fenomena ”no viral no justice” atau apabila tidak viral tidak ada keadilan. Hal tersebut juga menunjukkan adanya problema di dalam sistem peradilan pidana. Kasus-kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum bukan lagi karena tindak pidana yang terjadi berdampak pada kerugian korban yang sangat parah, tetapi lebih berdasar viral.
Ia juga menyoroti masifnya penggunaan kekerasan oleh aparat penegak hukum mulai penembakan, penganiayaan, hingga penangkapan secara sewenang-wenang. Kontras mencatat setidaknya terdapat 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri sepanjang Juni 2022 hingga Juni 2023. Kasus ini belum termasuk peristiwa Rempang dan lainnya.
Ia juga melihat adanya kecenderungan pemberian pengampunan atau impunitas terhadap aparat yang melakukan tindak kekerasan. Hal ini setidaknya terlihat dari tidak seriusnya penuntasan tragedi Kanjuruhan hingga tragedi Pulau Rempang yang dalam pengamatan Fachrizal tidak ada yang pertanggungjawaban etik maupun pidananya. Dalam kasus Kanjuruhan, ia menyoroti bagaimana majelis hakim menyalahkan angin yang membuat gas air mata tersebut terhirup oleh para penonton sehingga menimbulkan korban ratusan. Bukan pada aparat yang menembakkan gas air mata.
Aremania membawa bendera bertuliskan jumlah korban meninggal saat satu tahun tragedi Kanjuruhan di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu (1/10/2023).
Sumber : KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur juga mengungkap fenomena kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya/lahannya. Misalnya, dalam kasus Pulau Rempang, YLBHI saat ini mendampingi setidaknya 30 warga yang dikriminalisasi. Kriminalisasi juga terjadi terhadap pembela HAM, seperti terjadi pada Haris Azhar dari Lokataru dan Fatia Maulida dari Kontras.
Pentingnya KUHAP
Dari aspek kebijakan, Asperhupiki mengapresiasi disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru pada awal tahun 2023. Namun, masih ada sejumlah masalah terkait sejumlah pasal yang masih dipertahankan.
Fachrizal juga mengungkap tentang perlunya enam rancangan peraturan pemerintah yang harus diselesaikan sebelum tahun 2026. Namun, hingga saat ini pemerintah belum bergerak untuk menyiapkan ketentuan turunan KUHP baru tersebut.
”Fitur-fitur di KUHP juga tidak bisa dioperasikan tanpa perubahan KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Sampai hari ini, saya belum mendengar ada gerakan untuk membuat naskah akademik. Ada naskah akademik dari masyarakat sipil, kalau versi pemerintah masih versi KUHAP tahun 2012. Saya tidak yakin akan dipakai. Jadi, memang masih banyak pekerjaan rumah,” ungkapnya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly (kiri) menyerahkan laporan berkas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad seusai memberi pandangan terakhir pemerintah dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/12022). DPR menyetujui mengesahkan RKUHP menjadi Undang-undang KUHP.
Sumber : KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Akses keadilan
Dalam aspek akses terhadap keadilan, bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu merupakan perintah konstitusi dan dicantumkan dalam UU No 16/2011 tentang Bantuan Hukum. Hal ini menjadi prasyarat untuk terpenuhinya prinsip persamaan di muka hukum. Mengacu pada data hasil riset LBH-YLBHI, bantuan hukum hanya didapatkan oleh 10-20 persen orang yang berhadapan dengan hukum atau menjadi tersangka atau terdakwa.
Mengutip data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), terdapat 10.841 kasus pidana yang ditangani oleh LBH ataupun OBH (organisasi bantuan hukum) se-Indonesia. Separuhnya atau 5.345 kasus merupakan perkara narkotika. Jumlah kasus pidana yang mendapatkan bantuan hukum gratis tersebut sangat jauh dibandingkan perkara yang ditangani oleh Kepolisian Negara RI yang mencapai 288.472 perkara.
Menurut Asperhupiki, komitmen pemerintah belum maksimal. Hingga saat ini, hanya terdapat 619 LBH/OBH di seluruh Indonesia yang menjadi pendamping masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum gratis. Selain itu, anggaran yang dikucurkan pun masih Rp 56,36 miliar. Dengan anggaran sejumlah itu, jumlah kasus yang bisa didukung penanganannya melalui bantuan hukum gratis sangat kecil.
Sementara Isnur juga menyoroti naiknya jumlah perkara yang ditangani oleh Kepolisian dibandingkan tahun 2022 (276.507 perkara). Artinya, dalam satu tahun terakhir, ada peningkatan 11.965 perkara yang masuk ke Kepolisian.
Anggaran bantuan hukum gratis yang dikelola BPHN dalam tiga tahun terakhir.
Oleh : SUSANA RITA KUMALASANTI
”Dari perspektif hukum pidana, ini sebuah kemunduran. Kita keliru karena kita tidak bisa menurunkan kejahatan. Penanganan kejahatan itu untuk apa sih? Penanganan kejahatan harusnya berorientasi pada berkurangnya kriminalitas. Bukan makin banyak. Kalau makin tinggi, malah membebani negara,” kata Isnur.
Namun, hal tersebut tidak dapat disalahkan semata-mata kepada kepolisian. Penanganan kejahatan juga terkait dengan apakah ekosistem hukum yang kolaboratif untuk mencegah kejahatan, sudah terlaksana.
Editor : ANTONIUS PONCO ANGGORO
Artikel ini diangkat dari : www.kompas.id