December 10, 2024

Oleh : Mohammad Aliman Shahmi
Editor : Sandro Gatra
KOMPAS.com | Senin, 18 November 2024 | 05:59 WIB

Ilustrasi pajak (THINKSTOCKS/WAVEBREAKMEDIA LTD)

Bayangkan ini: seorang pedagang kecil di pasar tradisional dipaksa menaikkan harga barang dagangannya karena kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tidak butuh waktu lama, pelanggan mulai mengeluh. Sebagian orang berhenti berbelanja, sementara yang lain mencari alternatif lebih murah.

Bisnisnya yang sudah terpukul keras oleh pandemi kini menghadapi ancaman lain—bukan dari pesaing, tetapi dari kebijakan yang semestinya mendukung pemulihan ekonomi.

Ini bisa menjadi potret nyata dampak yang akan dirasakan oleh jutaan pedagang kecil dan konsumen jika PPN dinaikkan menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Di tengah daya beli masyarakat yang masih rapuh, kebijakan ini terasa seperti beban tambahan yang menyesakkan.

Menaikkan PPN mungkin tampak seperti solusi cepat untuk menambah penerimaan negara, tetapi risiko yang ditimbulkannya bisa jauh lebih besar.

Dampaknya tidak hanya menciptakan ketegangan pada dompet masyarakat, tetapi juga menggerogoti roda ekonomi. Daya beli melemah, konsumsi menurun, dan dunia bisnis mulai kehilangan pasar.

Pertanyaannya kini adalah: apakah pemerintah siap menghadapi konsekuensi dari kebijakan ini? Ataukah langkah ini, yang tampak berorientasi fiskal, justru akan menggoyahkan stabilitas pertumbuhan ekonomi yang baru mulai bangkit?

Kebijakan ini menuntut bukan hanya perhitungan teknis, tetapi juga keberanian untuk menakar ulang dampaknya bagi rakyat kecil dan pelaku usaha yang menopang fondasi ekonomi kita.

Daya beli masyarakat: Korban pertama kebijakan pajak

Konsumen adalah penggerak utama ekonomi Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 55-60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, kenaikan PPN berpotensi besar memukul daya beli masyarakat. Ketika PPN naik dari 11 persen menjadi 12 persen, hampir semua barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat akan menjadi lebih mahal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *