Oleh : Suprianto Haseng
Editor : Sandro Gatra
Kompas.com | Senin, 18 November 2024 | 05:40 WIB
KOMPAS.com – DI BALIK kebijakan Thomas Lembong yang tampaknya bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, terdapat jejak kelam yang sering kali terabaikan.
Kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menjadi sorotan tajam publik ketika dugaan korupsi impor gula terungkap.
Kebijakan yang diambil Tom Lembong tidak hanya memicu pertanyaan tentang integritasnya, tetapi juga membuka ruang bagi masyarakat untuk menggali lebih dalam mengenai siapa saja yang terlibat dalam pengambilan keputusan yang diduga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 400 miliar.
Dengan latar belakang politik yang rumit dan adanya tuduhan balas dendam, kebijakan Tom Lembong ini menyoroti tantangan besar dalam penegakan hukum dan akuntabilitas.
Apakah keadilan akan ditegakkan, ataukah ini hanya sekadar permainan politik yang memilih-milih sasaran dalam konteks korupsi impor gula?
Masyarakat mulai mempertanyakan lebih lanjut siapa saja yang terlibat dalam kebijakan tersebut selama bertahun-tahun.
Apakah mungkin hanya satu individu seperti Tom Lembong yang memegang kunci semua keputusan? Atau, adakah lebih banyak pemain di balik layar yang belum tersentuh oleh hukum dalam praktik korupsi impor gula ini?
Dalam konteks ini, penting untuk menekankan bahwa penegakan hukum seharusnya tidak hanya menargetkan satu orang, melainkan seluruh rantai pengambilan keputusan yang berpotensi menyebabkan kerugian negara.
Kejaksaan Agung memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Penyelidikan yang dilakukan harus bersifat menyeluruh dan transparan, mencakup semua Menteri Perdagangan yang menjabat dari tahun 2015 hingga 2023.
Penyelidikan secara menyeluruh dan transparan sangat penting untuk memastikan bahwa tidak ada kesan ketidakadilan dalam proses hukum.
Jika penyidikan hanya fokus pada Tom Lembong, maka akan muncul keraguan tentang objektivitas aparat penegak hukum.
Dalam kasus dugaan korupsi Tom Lembong ada hal menarik yang membuat penulis juga bertanya, apa benar terjadi hal seperti itu? Terdapat perdebatan hangat, apakah Tom Lembong benar-benar korupsi?
Perdebatan ini muncul di banyak media, ada yang berargumen bahwa tidak adanya aliran dana yang diterima Lembong membuatnya tidak layak dianggap sebagai koruptor.
Penulis melihat perdebatan mengenai kasus Tom Lembong sebagai refleksi penting dari pemahaman kita tentang korupsi. Kita harus ingat bahwa korupsi tidak selalu melibatkan penerimaan uang secara langsung.
Kunci dalam kasus ini adalah adanya upaya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain melalui kebijakan yang merugikan negara.
Jika tindakan Tom Lembong, dalam posisi dan wewenangnya, menyebabkan kerugian signifikan bagi keuangan negara, maka hal tersebut secara substansial memenuhi unsur korupsi, meskipun tidak ada transaksi uang yang terlihat.