Tim Redaksi : Alinda Hardiantoro, Mahardini Nur Afifah
Kompas.com | 7 Oktober 2024 | 15:30 WIB
KOMPAS.com – Hakim di Indonesia melakukan aksi cuti massal mulai hari ini, Senin (7/10/2024) hingga Jumat (11/10/2024).
Aksi cuti massal itu mengakibatkan sejumlah persidangan, termasuk di Pengadilan Negeri (PN) di Jakarta ditunda.
Pejabat Humas PN Jakarta Selatan Djuyamto menyatakan, sidang yang tetap digelar selama aksi cuti massal itu adalah perkara-perkara yang masa tahanannya akan berakhir.
“Ada beberapa sidang (yang tetap berjalan) karena (masa) tahanan mepet,” kata dia, dilansir dari KompasTV, Senin. Lantas, mengapa hakim se-Indonesia melakukan aksi cuti massal?
Alasan hakim se-Indonesia cuti massal
Juru Bicara Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia (SHI), Fauzan Arrasyid menyampaikan, ribuan hakim di Indonesia melakukan aksi cuti massal selama lima hari sebagai bentuk protes karena pemerintah dinilai belum memprioritaskan kesejahteraan hakim, salah satunya soal aturan penggajian.
Dilansir dari Kompas.com (3/10/2024), gaji dan tunjangan hakim saat ini mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.
Sejak PP tersebut ditetapkan pada 2012, hingga kini gaji dan tunjangan para hakim di Indonesia tidak pernah naik.
Padahal, kajian Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menunjukkan, dengan rata-rata inflasi sebesar 4,1 persen per tahun, tunjangan jabatan hakim yang layak untuk tahun 2024 adalah 242 persen dari tunjangan jabatan tahun 2012.
“Akibatnya, banyak hakim yang merasa bahwa penghasilan mereka tidak lagi mencerminkan tanggung jawab dan beban kerja yang mereka emban,” kata Fauzan.
Berdasarkan aturan di atas, gaji pokok hakim berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 4 juta. Namun, untuk mencapai gaji Rp 4 juta, hakim Golongan III harus mengabdi setidaknya selama 30 tahun.
Sementara hakim Golongan IV harus mengabdi selama 24 tahun untuk mendapatkan gaji pokok Rp 4 juta.
Adapun tunjangan hakim di Indonesia diatur dalam Lampiran II PP No 94/2012 yang menyatakan bahwa tunjangan hakim paling rendah adalah Rp 8,5 juta untuk hakim pratama di pengadilan kelas II.
Sedangkan tunjangan hakim paling tinggi Rp 24 juta untuk hakim utama di pengadilan kelas IA khusus. Sementara tunjangan ketua dan wakil ketua pengadilan berkisar Rp 15,9 juta hingga Rp 27 juta.
Jika mengacu pada kajian SHI yang menjadi dasar tuntutan para hakim (kenaikan 242 persen), tunjangan minimal bagi seorang hakim adalah Rp 20,57 juta untuk hakim pratama di pengadilan kelas II dan Rp 58 juta untuk hakim utama di pengadilan kelas IA khusus.
Adapun tunjangan ketua dan wakil ketua berkisar Rp 38,47 juta hingga Rp 65,34 juta.
Oleh karena itu, para hakim meminta pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.
Fauzan berpendapat, PP itu harus disesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 23P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa gaji pokok hakim tidak boleh disamakan dengan gaji pegawai negeri sipil, karena bertentangan dengan Undang-Undang Kekuasan Kehakiman.
Payung hukum tersebut menyatakan, hakim adalah pejabat negara, sehingga aturannya tak sesuai dengan UU Aparatur Sipil Negara.
”Hakim bukanlah PNS, melainkan pejabat negara yang menjalankan fungsi yudikatif dengan peran krusial dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia. Penguatan fungsi yudikatif penting untuk menjamin demokrasi tetap berjalan,” kata Fauzan, dikutip dari Kompas.id.
3 tuntutan Serikat Hakim Indonesia
Perwakilan SHI dan Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dijadwalkan akan menggelar audiensi dengan pimpinan Mahkamah Agung (MA) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas, Senin (7/10/2024).
Audiensi dilakukan untuk membicarakan gaji dan tunjangan hakim yang sudah 12 tahun tidak berubah.
Fauzan mengatakan, pertemuan itu rencananya akan akan dilakukan di dua lokasi berbeda, yaitu di Gedung Mahkamah Agung yang diikuti tim SHI dengan pimpinan MA.
Sementara lokasi kedua adalah di Gedung Kementerian Hukum dan HAM yang dilakukan Ikahi bersama dengan Menkumham.
Menurut Fauzan, pertemuan itu tidak hanya untuk menyerahkan draf Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim, tetapi juga membawa tiga tuntutan lainnya.
Dilansir dari Kompas.com, Senin (7/10/2024), berikut tuntutan para hakim di tengah aksi cuti massal.
- Mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim yang menjadi landasan hukum kuat dan independen bagi hakim
- Mendorong pengesahan RUU Contempt of Court yang mengatur perlindungan bagi hakim dari semua penghinaan terhadap pengadilan
- Mendesak pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Keamanan Hakim yang meliputi perlindungan fisik dan psikologis hakim dalam menjalankan tugas mereka.
Respons MA
Sementara itu, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Hakim Agung Suharto buka suara terkait aksi cuti massal yang dilakukan para hakim di Indonesia.
Ia menyatakan, cuti hakim dapat disetujui oleh pimpinan pengadilan asalkan tidak mengganggu jalannya persidangan.
“Selama tupoksi pengadilan tidak terganggu, artinya persidangan dijadwalkan setelah cuti dan tahanan tidak keluar demi hukum karena adanya cuti, biasanya permohonannya disetujui,” kata dia, masih dari sumber yang sama.
Menurut Suharto, cuti adalah hak pegawai negeri yang dapat digunakan apabila masih tersedia.
Sesuai prosedurnya, pemohon cuti harus mendapatkan persetujuan dari atasan masing-masing. Pimpinan pengadilan kemudian akan mempertimbangkan beban kerja hakim-hakimnya saat menggunakan hak cuti.
“Yang paling tahu adalah atasan yang memberi persetujuan cuti, tetapi dengan ketentuan persidangan tidak terganggu, maka insya Allah pelayanan pengadilan di berbagai tingkatan tetap berjalan seperti biasa,” kata Suharto.
Berita ini diangkat dari : KOMPAS.com