Dea Duta Aulia – detikNews
Sabtu, 18 Mei 2024 19:52 WIB
Sumber : Dok MPR, news.detik.com
Jakarta – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan hukum dari suatu negara pada hakikatnya terdiri dari himpunan gagasan (ideas) atau pemikiran mengenai perilaku manusia. Pemikiran itu digagas berdasarkan pada suatu cita hukum (rechtsidee).
Cita hukum yang dimaksud bisa seperti yang tertera dalam pokok-pokok pikiran Pembukaan UUD NRI. Termasuk pilihan bentuk negara, apakah monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, politeia atau demokrasi.
“Indonesia adalah negara demokrasi berbentuk republik Kesatuan bersusun tunggal (unitarian), tidak bersusun jamak, memiliki Parlemen. Daerah dibentuk dan diberikan otonomi, desentralisasi, dan dekonsentrasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Semboyan Bhineka Tunggal Ika,” kata Bamsoet dalam keterangan, Sabtu (18/5/2024).
Hal itu diungkapkan oleh Bamsoet saat memberikan kuliah Filsafat Hukum Tata Negara program doktor (S3) Fakultas Hukum Universitas Trisakti secara daring di Jakarta, hari ini.
Ketua DPR RI ke-20 ini memaparkan, Indonesia adalah negara demokrasi dan negara hukum menganut kontrak atau bersifat langsung.
Namun tidak seperti ajaran Hobbes, rakyat langsung menyerahkan dan melepaskan haknya atau kemerdekaanya kepada penguasa secara mutlak, tetapi melalui pemilu sebagai mekanisme kontrak sosial dengan pembatasan kurun waktu kekuasaan.
Dosen pascasarjana program doktor ilmu hukum (S3) Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini mengungkapkan Indonesia menganut teori dan praktik kedaulatan rakyat sebagaimana terdapat dalam UUD tahun 1945. Konstitusi negara mengatur prinsip pembagian kekuasan bukan pemisahan kekuasaan sebagaimana teori Montesquieu.
“Bentuk negara hukum ini terlihat pada adanya pembagian kekuasaan di pusat dan daerah provinsi, kabupaten atau kota serta diselenggarakannya Pemilu pada setiap lima tahun memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Presiden/Wakil Presiden secara langsung,” ujar Bamsoet.
“Indonesia selain mengenal cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, juga terdapat badan/lembaga/komisi yang sifatnya independen yang berada langsung di bawah presiden dan independen yang dinamakan sebagai state auxiliary bodies. Di mana pembagian kekuasaan dipraktikkan sebagai perimbangan kekuasaan atau checks and balances,” sambungnya.
Bamsoet menekankan hukum harus adaptif terhadap dinamika zaman dan laju peradaban. Karena suatu norma hukum yang diinterpretasikan dan diterapkan pada hari ini bisa jadi akan dimaknai berbeda pada 30 atau 50 tahun ke depan.
Norma hukum yang dianggap ideal pada hari ini, bisa jadi dipandang memiliki banyak celah di masa depan, sehingga harus disesuaikan, direvisi atau bahkan diganti.
“UUD 1945 juga memperingatkan untuk memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian UUD 1945 bersifat dinamis dan tidak bersifat tertutup. Artinya dalam rangka pelaksanaan atau aplikasinya, UUD 1945 terbuka bagi perkembangan atau terbuka bagi pemikiran dan berbagai teori baru,” jelas Bamsoet.
Bamsoet menegaskan masyarakat Indonesia tidak homogen, tetapi bersifat mutiras dan multietnik, sehingga sangat majemuk. Walaupun demikian mereka adalah satu keluarga besar yang disebut bangsa Indonesia, Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi satu.
“Jadi, bangsa Indonesia tidak menganut dialektikanya George Wilhelm Friedrich Hegel yang melebur antinomi-antinomi menjadi suatu sintesa, tetapi lebih condong kepada dialektikanya Jean Pierre Proudhon yang mengkompromikan atau menyeimbangkan antinomi-antinomi itu. Sehingga dapat hidup berdampingan dengan segala perbedaan dan persamaannya,” tutupnya.
Artikel ini diangkat dari : news.detik.com